0
Ku Titip Surat Ini Untuk Mu
Posted by admin
on
1:05 AM
in
Surat
Anakku!
Nanda yang kusayangi, di bumi Allah Ta’ala…
Segala puji ibu panjatkan ke hadirat Allah yang telah memudahkan Ibu untuk
beribadah kepadaNya.
Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi
Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, keluarga dan para shahabatnya.
Amiin…
Wahai anakku,
Surat ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara,
Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,
sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri.
Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan terhalangi oleh tangis,
dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…
Wahai anakku,
Sepanjang masa yang telah engkau lewati,
kulihat engkau telah menjadi lakilaki dewasa,
lakilaki yang cerdas dan bijak!
Karenanya engkau pantas membacatulisan ini,
sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini lalu engkau merobeknnya, sebagaimana sebulumnya engkau telah remas hatiku dan telah
engkau robek - robek pula perasaanku.
Nanda yang kusayangi, di bumi Allah Ta’ala…
Segala puji ibu panjatkan ke hadirat Allah yang telah memudahkan Ibu untuk
beribadah kepadaNya.
Shalawat serta salam Ibu sampaikan kepada Nabi
Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, keluarga dan para shahabatnya.
Amiin…
Wahai anakku,
Surat ini datang dari ibumu yang selalu dirundung sengsara,
Setelah berpikir panjang Ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena,
sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri.
Setiap kali menulis, setiap itu pula goresan tulisan terhalangi oleh tangis,
dan setiap kali menitikkan air mata setiap itu pula hati terluka…
Wahai anakku,
Sepanjang masa yang telah engkau lewati,
kulihat engkau telah menjadi lakilaki dewasa,
lakilaki yang cerdas dan bijak!
Karenanya engkau pantas membacatulisan ini,
sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini lalu engkau merobeknnya, sebagaimana sebulumnya engkau telah remas hatiku dan telah
engkau robek - robek pula perasaanku.
Wahai anakku…
25 tahun telah berlalu, dan tahuntahun itu merupakan tahun kebahagiaan
dalam kehidupanku. Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang
kehamilanku dan semua ibu sangat mengetahui arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi.
Semenjak kabar gembira tersebut aku membawamu 9 bulan, tidur, berdiri, makan dan bernafas dalam kesulitan.
Akan tetapi itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku memandangmu, wahai anakku!
Pada kondisi lemah di atas lemah,
bersamaan dengan itu aku begitu gembira tatkala merasakan tendangan kakimu atau geliat badanmu dalam perutku.
Aku merasa puas setiap aku menimbang diriku, karena semakin hari semakin bertambah berat perutku, berarti engkau sehat wal afiat dalam rahimku.
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku,
sampailah saat itu, ketika fajar
pada malam itu,yang aku tidak dapat tidur dan memejamkan mataku barang
sekejap pun.
Aku merasakan sakit… yang tidak tertahankan dan rasa takut yang
tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu terus berlanjut sehingga membuatku tidak lagi dapat menangis.
Sebanyak itu pula aku melihat kematian menarinari dipelupuk mataku,
hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia.
Engkaupun lahir…
Tangisku bercampur dengan tangismu,
air mata kebahagiaan senantiasa menetes dalam keharuan dan kebahagiaan. Dengan itu semua,
sirna semua keletihan dan kesedihan,
hilang semua sakit dan penderitaan,
bahkan kasihku kepadamu
semakin bertambah dengan bertambah kuatnya rasa sakit.
Aku raih dirimu
sebelum aku meraih minuman,
aku peluk cium dirimu sebelum meneguk satu tetes
air yang ada di kerongkonganku.
Wahai anakku…
Telah berlalu tahun dari usiamu.
Aku membawamu dengan hatiku dan memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku.
Saripati hidupku kuberikan kepadamu.
Aku tidak tidur demi tidurmu, aku berlatih demi
kebahagiaanmu.
Harapanku pada setiap harinya, agar aku melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat adalah celotehmu dalam meminta sesuatu,
agar aku bisa berbuat sesuatu untukmu…
Itulah kebahagiaanku!
Kemudian, berlalulah waktu,
hari berganti hari,
bulan berganti bulan,
dan tahun berganti tahun.
Selama itu pula aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai,
menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti, dan menjadi pekerjamu
yang tidak pernah mengenal lelah serta mendoakan selalu kebaikan dan taufiq
untukmu.
Aku selalu memperhatikan dirimu hari demi hari hingga engkau menjadi dewasa.
Badanmu yang tegap,
ototmu yang kekar,
kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu,
telah menambah ketampananmu.
Tatkala itu…
aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan demi mencari pasangan
hidupmu.
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu…
Semakin dekat hari perkawinanmu, semakin dekat pula hari kepergianmu…
Saat itu pula hatiku mulai serasa teririsiris,
air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini.
Bahagia telah bercampur dengan duka, tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan
dan sedih karena engkau pelipur hatiku yang sebentar lagi akan berpisah denganku.
Waktu berlalu seakanakan aku menyeretnya dengan berat.
Kiranya setelah perkawinan itu aku tidak lagi mengenal dirimu,
senyummu... yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihan,
sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu... yang selama ini kujadikan buluh perindu,
sekarang telah tenggelam seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam
yang hening, dengan dedaunan yang berguguran.
Aku benar-benar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku
dan melupakan hak ku. ..
Aku benarbenar tidak mengenalmu lagi karena engkau telah melupakanku
dan melupakan hak ku. ..
Terasa lama hari-hari yang kulewati hanya untuk ingin melihat rupamu.
Detik demi detik kuhitung demi mendengarkan suaramu.
Akan tetapi penantian kurasakan sangat panjang.
Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk melihat dan menanti kedatanganmu.
Setiap kali berderit pintu aku manyangka bahwa engkaulah orang yang datang.
Setiap kali kendaraan yang berhenti aku manyangka bahwa engkaulah orang
yang berhenti
Setiap kali telpon berdering aku manyangka bahwa engkaulah orang yang
menelponku.
Akan tetapi….semua itu tidak ada.
Penantianku sia-sia
dan harapanku hancur berkeping,
yang ada hanya keputusasaan.
Yang tersisa hanyalah kesedihan dari semua keletihan yang selama ini kurasakan.
Sambil menangisi diri dan nasib yang memang telah ditakdirkan olehNya.
Anakku…
Ibumu ini tidaklah meminta banyak, dan tidaklah menagih kepadamu yang
bukanbukan.
Yang Ibu pinta, jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di
rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu,
agar Ibu teringat pula dengan
hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan Ibu memohon kepadamu, Nak! Janganlah engkau memasang jerat
permusuhan denganku, jangan engkau buang wajahmu ketika Ibu hendak
memandang wajahmu!!
Yang Ibu tagih kepadamu, jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat
persinggahanmu, agar engkau dapat sekalikali singgah ke sana sekalipun hanya
satu detik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau
kunjungi, atau sekiranya terpaksa engkau datangi sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…,
Telah bungkuk pula punggungku.
Bergemetar tanganku,
karena badanku telah dimakan oleh usia dan digerogoti oleh penyakit…
Berdiri seharusnya dipapah,
Dudukpun seharusnya dibopong,
Sekalipun begitu
Cintaku kepadamu masih seperti dulu…
Masih seperti lautan yang tidak pernah kering…
Masih seperti angin yang tidak pernah berhenti.
Sekiranya engakau dimuliakan satu hari saja oleh seseorang,
niscaya engkau akan balas kebaikannya dengan kebaikan setimpal.
Sedangkan kepada ibumu… Mana balas budimu, nak!?
Mana balasan baikmu!
Bukankah air susu seharusnya dibalas dengan air susu serupa?!
Akan tetapi kenapa nak! Susu yang Ibu berikan engkau balas dengan tuba.
Bukankah Allah ta’ala telah berfirman:
“Bukankah balasan kebaikan kecuali dengan kebaikan pula?!” (QS. Ar Rahman:60)
Sampai begitu keraskah hatimu, dan sudah begitu jauhkah dirimu?! Setelah
berlalunya hari dan berselangnya waktu?!
Wahai anakku, setiap kali aku mendengar bahwa engkau bahagia dengan
hidupmu, setiap itu pula bertambah kebahagiaanku.
Bagaimana tidak, engkau adalah buah dari kedua tanganku,
engkaulah hasil dari keletihanku.
Engkaulah laba dari semua usahaku!
Kiranya dosa apa yang telah kuperbuat sehingga
engkau jadikan diriku musuh bebuyutanmu?!
Pernahkah aku berbuat khilaf
dalam salah satu waktu selama bergaul denganmu,
atau pernahkah aku berbuat lalai dalam melayanimu?
Terus, jika tidak demikian, sulitkah bagimu menjadikan statusku sebagai budak
dan pembantu yang paling hina dari sekian banyak pembantumu .
Semua mereka telah mendapatkan upahnya!?
Mana upah yang layak untukku wahai anakku!
Dapatkah engkau berikan sedikit perlindungan kepadaku di bawah naungan kebesaranmu?
Dapatkah engkau menganugerahkan sedikit kasih sayangmu demi mengobati derita orang tua yang malang ini?
Sedangkan Allah ta’ala mencintai orang yang berbuat baik.
Wahai anakku!!
Aku hanya ingin melihat wajahmu, dan aku tidak menginginkan yang lain.
Wahai anakku!
Hatiku teriris,
Air mataku mengalir, sedangkan engkau sehat wal afiat.
Orang-orang sering mengatakan bahwa engkau seorang laki-laki supel,
dermawan, dan berbudi.
Anakku…
Tidak tersentuhkah hatimu terhadap seorang wanita tua yang lemah,
tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua yang telah renta ini,
ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!?
tidak terenyuhkah jiwamu melihat orang tua renta ini dan ia binasa dimakan oleh rindu, berselimutkan kesedihan dan berpakaian kedukaan!?
Bukan karena apa-apa?!
Akan tetapi hanya karena engkau... telah berhasil mengalirkan air matanya…
Hanya karena engkau... telah membalasnya dengan luka di hatinya…
Hanya karena engkau... telah pandai menikam dirinya dengan belati durhakamu tepat menghujam jantungnya…
Hanya karena engkau... telah berhasil pula memutuskan tali silaturrahim?!
Wahai anakku,
ibumu inilah sebenarnya pintu surga bagimu.
Maka titilah jembatan itu menujunya, lewatilah jalannya dengan senyuman yang manis, pemaafan dan balas budi yang baik.
Semoga aku bertemu denganmu di sana
dengan kasih sayang Allah ta’ala, sebagaimana dalam hadits:
“Orang tua adalah pintu surga yang di tengah. Sekiranya engkau mau, maka sia-siakanlah pintu itu atau jagalah!!” (HR. Ahmad)
Anakku,
Aku sangat mengenalmu, tahu sifat dan akhlakmu.
Semenjak engkau telah beranjak dewasa saat itu pula tamak dan labamu kepada pahala dan surga begitu tinggi.
Engkau selalu bercerita tentang keutamaan shalat berjamaah dan shaf pertama.
Engkau selalu berniat untuk berinfak dan bersedekah.
Akan tetapi, anakku…!
Satu hadits yang kau lupakan... !
Satu keutamaan besar yang terlalaikan olehmu,
yaitu bahwa Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, amal apa yang paling mulia?
Beliau bersabda: “Shalat pada waktunya”, aku berkata: “Kemudian apa, wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda: “Berbakti kepada kedua orang tua”, dan aku
berkata: “Kemudian, wahai Rasulullah!” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah”,
lalu beliau diam. Sekiranya aku bertanya lagi, niscaya beliau akan menjawabnya.
(Muttafaqun ‘alaih)
Wahai anakku!!
Ini aku,
pahalamu,
tanpa engkau bersusah payah untuk memerdekakan budak atau berletih dalam berinfak.
Pernahkah engkau mendengar cerita seorang ayah yang telah meninggalkan
keluarga dan anakanaknya dan berangkat jauh dari negerinya untuk mencari
tambang emas?! Setelah tiga puluh tahun dalam perantauan, kiranya yang ia
bawa pulang hanya tangan hampa dan kegagalan.
Dia telah gagal dalam usahanya.
Setibanya di rumah, orang tersebut tidak lagi melihat gubuk reotnya,
tetapi yang dilihatnya adalah sebuah perusahaan tambang emas yang besar.
Berletih ia mencari emas di negeri orang,
kiranya, di sebelah gubuk reotnya orang mendirikan tambang emas.
Begitulah perumpamaanmu dengan kebaikan.
Engkau berletih mencari pahala,
engkau telah beramal banyak, tapi engkau telah lupa bahwa di dekatmu ada
pahala yang maha besar.
Di sampingmu ada orang yang dapat menghalangi atau
mempercepat amalmu untuk masik surga.
Bukankah ridhoku adalah keridhoan Allah ta’ala, dan murkaku adalah kemurkaanNya?
Anakku…,
yang aku cemaskan terhadapmu, yang aku takutkan bahwa engkaulah
yang dimaksudkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
“Merugilah seseorang, merugilah seseorang, merugilah seseorang”, dikatakan,
“Siapa dia,wahai Rasulullah?, Rasulullah menjawab, “Orang yang mendapatkan
kedua ayah ibunya ketika tua, dan tidak memasukkannya ke surga”. (HR. Muslim)
Anakku…,
Aku tidak akan angkat keluhan ini ke langit dan aku tidak adukan duka ini
kepada Allah, karena sekiranya keluhan ini telah membumbung menembus awan, melewati pintupintu langit, maka akan menimpamu kebinasaan dan
kesengsaraan yang tidak ada obatnya dan tidak ada dokter yang dapat
menyembuhkannya.
Akan tetapi ,aku tidak akan melakukannya, Nak!
Bagaimana aku akan melakukannya sedangkan engkau adalah jantung hatiku…
Bagaimana ibumu ini kuat menengadahkan tangannya ke langit sedangkan
engkau adalah pelipur laraku.
Bagaimana Ibu tega melihatmu merana terkena do’a mustajab…,
padahal engkau bagiku adalah kebahagiaan hidupku.
Bangunlah Nak…! bangun….
Uban sudah mulai merambat di kepalamu.
Akan berlalu masa hingga engkau akan menjadi tua pula,
dan al jaza’ min jinsil amal…
“Engkau akan memetik sesuai dengan apa yang engkau tanam…”
Aku tidak ingin engkau nantinya
menulis surat yang sama kepada anakanakmu, engkau tulis dengan air matamu sebagaimana aku menulisnya dengan air mata itu pula kepadamu.
Wahai anakku,
bertaqwalah kepada Allah pada ibumu, peganglah kakinya!!
Sesungguhnya surga di kakinya.
Basuhlah air matanya, balurlah kesedihannya,
kencangkan tulang ringkihnya, dan kokohkan badannya yang telah lapuk.
Anakku… Setelah engkau membaca surat ini,terserah padamu!
Apakah engkau sadar dan akan kembali atau engkau ingin merobeknya dan melupakanya.
Wassalam,
Ibumu
NB : Surat Balasan Dari anak kepada ibunya
Kepada Yang Tercinta Bundaku Yang Ku Sayang
Segala puji bagi Allah ta’ala yang telah memuliakan kedudukan kedua orang tua, dan telah menjadikan mereka berdua sebagai pintu tengah menuju surga.
Shalawat serta salam, hamba yang lemah ini panjatkan keharibaan Nabi yang
mulia, keluarga serta para sahabatnya hingga hari kiamat. Amin…
Ibu…aku terima suratmu yang engkau tulis dengan tetesan air mata dan duka,
dan aku telah membacanya, ya aku telah mengejanya kata demi kata… tidak ada satu huruf pun yang aku terlewatkan.
Tahukah engkau, wahai Ibu, bahwa aku membacanya semenjak shalat Isya’ dan baru selesai membacanya setelah ayam berkokok, fajar telah terbit dan adzan pertama telah dikumandangkan?!
Sebenarnyalah… surat yang engkau tulis tersebut jika ditaruhkan di atas batu, tentu ia akan pecah..,
Jika sekiranya diletakkan ke atas daun yang hijau tentu dia akan kering.
Sebenarnyalah surat yang engkau tulis tersebut tidak tersudu oleh itik dan tidak tertelan oleh ayam.
Sebenarnyalah bahwa suratmu itu bagiku bagaikan petir kemurkan,
sendainya petir itu menyambar pohon yang besar… tentulah ia akan rebah.. dan terbakar.
Sebenarnyalah…surat yang engkau tuliskan itu bagaikan awan kaum Tsamud
yang datang berarak yang telah siap dimuntahkan kepadaku…
Ibu… Aku baca suratmu, sedangkan air mataku tidak pernah berhenti!!
Bagaimana tidak, sekiranya surat itu ditulis oleh orang yang bukan ibu dan
ditujukan pula bukan kepadaku, layaklah orang mempunyai hati yang keras
ketika membaca surat itu menangis sejadi-jadinya.
Bagaimana kiranya yang menulis itu adalah bunda dan surat itu ditujukan untuk
diriku sendiri!!
Aku sering membaca kisah dan cerita sedih, tidak terasa bantal yang dijadikan
tempat bersandar telah basah karena air mata, aku juga sering menangis melihat tangisnya anak yatim atau menitikkan air mata melihat sengsaranya hidup si miskin.
Aku acap kali tersentuh dengan suasana yang haru dan keadaan yang memilukan, bahkan pada binatang sekalipun.
Bagaimana pula dengan surat yang ibu tulis itu!? Ratapan yang bukan ibu
karang atau sebuah drama yang ibu perankan?!
Akan tetapi dia adalah sebuah
kenyataan…
Bunda yang kusayangi…
Sungguh berat cobaanmu… sungguh malang penderitaanmu…
Semua yang engkau telah sebutkan benar adanya.
Aku masih ingat ketika engkau
ditinggal ayah pada masa engkau hamil tua mengandung adikku.
Ayah pergi entah kemana tanpa meninggalkan uang belanja,
jadilah engkau mencari apa yang dapat dimasak di sekitar rumah dari dedaunan dan tumbuhan.
Dengan jalan berat engkau melangkah ke kedai untuk membeli ala kadarnya,
sambil engkau membisikkan kepada penjual bahwa apa yang engkau ambil tersebut adalah utang…
dan engkau sendiri tidak tahu kapan engkau akan dapat
melunasinya.
Ibu… aku masih ingat ketika kami anakanakmu menangis untuk dibuatkan
makanan, engkau tiba-tiba menggapai atap dapur untuk mengambil kerak nasi
yang telah lama engkau jemur dan keringkan, tidak jarang pula engkau simpan
untukku sepulang sekolah tumbung kelapa, hanya untuk melihat aku
mengambilnya dengan segera.
Atau aku masih ingat, engkau sengaja mengambilkan air didih dari nasi yang sedang dimasak, ketika engkau temukan aku dalam keadaan sakit demam.
Ibu… maafkanlah anakmu ini, aku tahu bahwa semenjak engkau gadis
sebagaimana yang diceritakan oleh nenek sampai engkau telah tua sekarang,
engkau belum pernah mengecap kebahagiaan.
Duniamu hanya rumah serta halamannya, kehidupanmu hanya dengan anakanakmu.
Belum pernah aku melihat engkau tertawa bahagia kecuali ketika kami anakanakmu datang ziarah kepadamu.
Selain dari itu tidak ada kebahagiaan, hariharimu adalah perjuangan.
Semua hidupmu hanya pengorbanan.
Ibu… Maafkan aku anakmu ini! Semenjak engkau pilihkan untukku seorang istri,
wanita yang telah engkau puji sifat dan akhlaknya, yang engkau telah sanjung
pula suku dan negerinya!! Engkau katakan ketika itu padaku, “Ambilah ia sebagai istrimu, gadis yang pemalu yang pandai bergaul, cantik dan berakhlak mulia, punya hasab dan nasab!.”
Semenjak itu pula aku seakanakan lupa denganmu. Keberadaan dia sebagai
istriku telah membuatku lupa posisi engkau sebagai ibuku, senyuman dan
sapaannya telah membuatku terlena dengan sapaan dan himbauanmu.
Ibu… aku tidak menyalahkan wanita pilihanmu tersebut, karena ia telah
menunaikan kewajibannya sebagai istri, terutama perhatiannya dalam berbakti
kepadamu, sudah berapa kali ia memintaku untuk menyediakan waktu untuk
menziarahimu. Hari yang lalu ia telah buatkan makanan buatmu, akan tetapi
aku tidak punya waktu mengantarkannya, hingga makanan itu telah menjadi
basi…
Aku berharap pada permasalahan ini engkau tidak membawabawa namanya dan mengaitkan kedurhakaanku kepadamu karenanya.
Karena selama ini, di mataku
ia adalah istri yang baik, istri yang telah berupaya banyak untuk kebahagiaan rumah tangganya.
Ibu… Ketika seorang lakilaki menikah dengan seorang wanita, maka seolaholah
dia telah mendapatkan permainan baru, seperti anak kecil mendapatkan boneka
atau orangorangan. Sekali lagi maafkan aku! Aku tidaklah membela diriku,
karena dari awal dan akhir pembicaraan ini kesalahan ada padaku.. anakmu
ini!! Akan tetapi aku ingin menerangkan keadaan yang kualami, perubahan
suasana setelah engkau dan aku berpisah dan perubahan jiwa ketika aku tidak
hanya mengenal dirimu, tapi kini aku telah mengenal satu wanita lagi.
Ibu… perkawinanku membuatku masuk ke dunia baru, dunia yang selama ini
tidak pernah kukenal, dunia yang hanya ada aku, istri dan anakku!! Bagaimana
tidak, istri yang baik dan anakanak yang luculucu!! Maafkan aku Ibu… aku
merasa dunia hanya milik kami, aku tidak peduli dengan keadaan orang lain,
yang penting bagiku adalah keadaan mereka.
Ibu… Maafkan aku, anakmu!! Aku telah lalai… aku telah lupa… aku telah
menyianyiakanmu!! Aku pernah mendengar kajian, bahwa orang tua difitrahkan
untuk cinta kepada anaknya, dan anak difitrahkan untuk menyianyiakan orang
tuanya. Oleh sebab itu dilarang mencintai anak secara berlebihan dan anak
dilarang berbuat durhaka kepada orang tuanya.
Itulah yang terjadi pada diriku, wahai Ibu!! Aku seperti orang linglung ketika
melihat anakku sakit, aku seperti orang kebingungan ketika melihat anakku diare.
Tapi itu sulit, aku rasakan jika hal itu terjadi padamu atau pada ayah!!
Ibu… Sulit aku merasakan perasaanmu!! Kalaulah bukan karena bimbingan
agama yang telah lama engkau talqinkan kepadaku, tentu aku telah seperti
kebanyakan anakanak yang durhaka kepada orang tuanya!! Kalaulah bukan
karena baktimu pula kepada orang tuamu dan orang tua ayah, niscaya aku tidak akan pernah mengenal arti bakti kepada orang tua.
Setelah suratmu datang…, baru aku mengerti!! ,
Setelah suratmu datang…, baru aku mengerti!!
Karena selama ini hal itu tidak pernah engkau ungkapkan, semuanya engkau
simpan dalamdalam seperti semua permasalahan berat yang engkau hadapi selama ini.
Sekarang baru aku mengerti, bahwa hari yang sulit bagi seorang ibu, adalah hari di mana anaknya telah menikah dengan seorang wanita.
Di matanya wanita yang telah mendampingi putranya itu adalah manusia yang paling beruntung.
Bagaimana tidak!!
Dia dapatkan seorang lakilaki yang telah matang pribadi dan
matang ekonomi dari seorang ibu yang telah letih membesarkannya.
Dengan detak jantungnya ia peroleh kematangan jiwa dan dari uang ibu itu pula ia dapatkan kematangan ekonomi.
Sekarang dengan ikhlas dia berikan kepada seorang wanita
yang tidak ada hubungannya, kecuali hubungan dua wanita yang saling berebut
perhatian seorang laiklaki.
Lakilaki sebagai anak dari ibunya dan ia sebagai suami dari istrinya.
Ibuku sayang…
Maafkan aku Ibu!! Ampunkan diriku.
Satu tetesan air matamu adalah lautan api bagiku.
Janganlah engkau menangis lagi, jangan engkau berduka lagi!!
Karena duka dan tangismu menambah dalam jatuhku ke dalam api neraka!!
Aku takut Ibu… Aku takut….,
Aku cemas dengan banyaknya dosaku kepada Allah
sekarang bertambah pula dengan dosaku terhadapmu.
Dengan apa aku ridho Allah, sekiranya engkau tidak meridhoiku.
Apa gunanya semua kebaikan sekiranya di matamu aku tidak punya kebaikan!!
Bukankah ridho Allah tergantung dengan ridhomu dan sebaliknya bukankah
kemurkaan Allah tergantung dengan kemurkaanmu!!
Tahukah engkau Ibu, seburukburuknya diriku, aku masih merasakan takut kepada murka Allah!!
Apalah jadinya hidup ini….. jika seandainya neraka pula yang akan aku dapatkan.
Kalau akan murka itu pula yang aku peroleh, izinkan aku membuang semua
kebahagiaanku selama ini, demi hanya untuk dapat menyeka air matamu! Kalau akan engkau pula murka kepadaku, izinkan aku datang kepadamu membawa segala yang aku miliki lalu menyerahkannya kepadamu, lalu terserah engkau, mau engkau perbuat apa?!
Sungguh aku tidak mau masuk neraka!
Seakalipun wahai Bunda aku memiliki kekuasaan seluas kekuasaan Firaun, mempunyai kekayaan sebanyak kekayaan Qarun dan mempunyai keahlian setinggi ilmu Haman.
Pastikan wahai Bunda tidak akan aku tukar dengan kesengsaraan di akherat sekalipun sesaat.
Siapa pula yang tahan dengan azab neraka, wahai Bunda…!!
Ibu maafkan anakmu!! Adapun sebutanmu tentang keluhan dan pengaduan
kepada Allah ta’ala, bahwa engkau belum mau mengangkatnya ke langit!! Maka,
ampun, wahai Ibu!!
Aku angkat seluruh jemariku dan sebelas dengan kepala untuk mohon maaf kepadamu!!
Kalaulah itu yang terjadi, do’a itu tersampaikan! Salah ucap pula lisanmu!!
Apalah jadinya nanti diriku!! Tentu kebinasaan yang telak.
Tentu diriku akan menjadi tunggul yang tumbang disambar petir,
apalah gunanya kemegahan sekiranya engkau do’akan atasku kebinasaan, tentu aku akan menjadi pohon yang tidak berakar ke bumi dan dahannya tidak bisa sampai ke langit, di tengahnya dimakan kumbang pula!!
Kalaulah do’amu terucap atasku, wahai Ibu!!
maka, tidak ada lagi gunanya hidup,
tidak ada lagi gunanya kekayaan,
tidak ada lagi gunanya banyak pergaulan.
Ibu dalam sejarah anak manusia yang kubaca, tidak ada yang bahagia setelah
kena kutuk orang tuanya. Itu di dunia, maka aku tidak dapat bayangkan
bagaimana nasib bagi yang terkena kutuk di akherat, tentu lebih sengsara.
Ibu… setelah membaca suratmu, baru aku menyadari kekhilafan, kealfaan dan kelalaianku.
Suratmu akan kujadikan benda berharga dan kusimpan dengan dengan baik
dalam hidupku, setiap kali aku lalai dalam berkhidmat kepadamu akan aku baca ulang kembali, tiap kali aku lengah darimu akan kutalqin diriku dengannya.
Akan kusimpan dalam lubuk hatiku sebelum aku menyimpannya dalam kotak wasiatku.
Akan aku sampaikan kepada anak keturunanku bahwa ayah mereka
dahulu pernah lalai dalam berbakti, lalu sadar dan kembali kepada kebenaran,
ayah mereka pernah berbuat salah, sehingga ia telah menyakiti hati orang yang
seharusnya ia cintai, lalu ia kembali kepada petunjuk.
Tua siapa yang tidak mengalami ketuaan, wahai Bunda!! Badanku yang saat ini
tegap, rambutku hitam, kulitku kencang, akan datang suatu masa badan yang
tegap itu akan ringkih dimakan usia, rambut yang hitam akan dipenuhi uban
ditelan oleh masa dan kulit yang kencang itu akan menjadi keriput ditelan oleh zaman.
Burung elang yang terbang di angkasa, tidak pernah bermain kecuali di tempat
yang tinggi, suatu saat nanti dia akan jatuh jua, dikejar dan diperebutkan oleh burung kecil lainnya.
Singa si raja hutan yang selalu memangsa, jika telah tiba tuanya, dia akan
dikejarkejar oleh anjing kecil tanpa ada perlawanan. Tidak ada kekuasaan yang
kekal, tidak ada kekayaan yang abadi, yang tersisa hanya amal baik atau amal
buruk yang akan dipertanggungjawabkan.
Ibu, do’akan anakmu ini agar menjadi anak yang berbakti kepadamu di masa
banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Angkatlah ke langit munajatmu
untukku agar aku akan memperoleh kebahagiaan abadi di dunia dan di akherat.
Ibu… sesampainya suratku ini, insya Allah, tidak akan ada lagi air mata yang
jatuh karena ulah anakmu, setelah ini tidak ada lagi kejauhan antaraku
denganmu, bahagiamu adalah bahagiaku, kesedihanmu adalah kesedihanku,
tawamu adalah tawaku dan tangismu adalah tangisku.
Aku berjanji untuk selalu berbakti kepadamu buat selamanya dan aku berharap aku dapat
membahagiakanmu selama mataku masih berkedip.
Bahagiakanlah dirimu… buanglah segala kesedihan, cobalah tersenyum!! Ini
kami, aku, istri, dan anakanak sedang bersiapsiap untuk bersimpuh di
hadapanmu, mencium tanganmu.
Salam hangat dari anakmu.
Surat dari seorang ibu kepada anaknya yang telah menikah.
Diterjemahkan oleh : Ustadz Armen Halim Naro, Lc rahimahullah
Post a Comment